Mahyeldi bukannya tak bekerja. Dia fokus membenahi persoalan Padang satu persatu. Usai gempa besar 2009, Padang memang luluh lantak. Pasar raya yang dulu pembangunannya terhambat karena adanya perbedaan pendapat dengan pedagang, berhasil dibangun dengan senyap. Tak ada konflik, tak ada unjuk rasa. Pedagang menerima desain pembangunan. Jika ada polemik, bisa diredam.
Taplau, etalase Padang juga dipugar. Dulu, taplau tak ubahnya sebagai tempat pelepas nafsu semata. Tenda ceper berserak. Buya Mahyeldi akhirnya turun langsung. Taplau dibenahi. Hasilnya lihatlah sekarang. Taplau begitu tertata, menjadi tempat yang nyaman bagi keluarga. Tenda ceper akhirnya tinggal cerita. Tak lagi ada. Taplau kini merupakan panggung sempurna untuk menyaksikan sunset. Saban hari, orang-orang berdesakan di sana. datang tak sekadar duduk saja, tapi berbelanja. Para pedagang panen setiap hari. Jualan laris, perlahan ekonomi kembali hidup.
Ruas-ruas trotoar dipercantik. Lihat saja sepanjang Khatib Sulaiman. Trotoar diubah menjadi pedestrian. Tempat nyaman bagi siapa saja, terutama anak-anak muda berdiskusi dan berkreasi. Secara bertahap, Padang mampu bangkit dari keterpurukan karena bencana.
Tapi memang, maksiat di Padang seperti api dalam sekam. Di permukaan tak nampak, namun ketika lebih didalami, hangat membara. Orang mengenal Padang sebagai kota yang beradat dan beragama. Kota dengan akar religius kuat. Anak-anak gadis berhijab, orang banyak berpeci, dan bergamis, masjid hampir ada di setiap persimpangan, megah-megah. Kota ini dikenal sebagai kota asmaulhusna oleh orang kebanyakan. Tapi, cobalah berjalan-jalan ketika malam, anda akan melihat Padang dengan wajah yang berbeda. Di sudut-sudut kota berserakan tempat karaoke, diskotek, dan pub. Hanya hitungan jari yang berizin, selebihnya illegal. Orang-orang ramai menghabiskan malam hingga subuh di sana. Kalau malam Kamis, yang dinobatkan disebut malam ladies, atau malam Minggu, lokasi-lokasi untuk melepas hasrat akan penuh. Terlambat datang, tak dapat meja. Minuman keras dijajakan di pinggir-pinggir jalan, walau secara tersembunyi. Di kota ini, lebih muda mendapatkan sebotol bir dibandingkan Jakarta, demikian seloroh seorang kawan yang hidup di ibu kota, dan sempat singgah di kota pesisir pantai ini.
Mau lebih melihat wajah Padang yang berbeda? Lewat pukul 23.00 WIB, cobalah melintas di Jalan Diponegoro, lalu memelankan laju mobil, hidupkan lampu hazard. Tak berselang lima menit, taksi gelap akan menghampiri anda, atau minibus yang di atasnya ada segerombolan perempuan penjaja seks. Anda akan ditawari kehangatan, dengan harga yang murah. Nyaris seperti obralan. Jika malas keluar, download saja aplikasi chatting tertentu, Michat, Wechat, atau Tinder, di sana, gadis-gadis berpose seksi akan menawarkan dirinya, include dengan kamar hotel. Itulah wajah Padang di beberapa sudut kota jika malam. Penuh birahi, dan bau alkohol.
Kondisi inilah yang memicu kritik Andre Rosiade. Sebagai orang yang lahir dan besar di Padang, Andre mengaku merasa kecewa. Padang tak sesuai ekspektasinya. Semestinya, dikatakan Andre, dengan dipimpin seorang buya seperti Mahyeldi, kehidupan sosial Padang lebih baik, maksiat diberantas, kesejahteraan merata. “Saya mengkritik, bukan karena gagal maju, tapi karena saya mencintai kota ini,” tegas Andre, beberapa tahun silam ketika bertemu penulis.
Di tahun 2017, atas inisiasi banyak politisi muda, dan kalangan pemikir, Andre “dipaksa” untuk kembali bertarung pada Pilkada 2019. Merebut kembali kursi orang nomor satu di Padang, dari tangan Mahyeldi. Setelah urun rembuk beberapa kali, Andre Rosiade dipasangkan dengan Maidestal Hari Mahesa.Pasangan Andre, Maidestal Hari Mahesa, juga politisi muda yang sarat pengalaman. Esa, begitu sapaannya, beberapa kali duduk sebagai anggota DPRD. Dengan pengalamannya, Esa sangat memahami masalah perkotaan.
Keduanya sempat deklarasi, yang diinisiatori oleh Febby Datuak Bangso, eks Ketua DPW PKB Sumbar. Namun, koalisi itu hanya seumur jagung. Pecah di tengah jalan. Andre malah memilih bertarung untuk merebut kursi DPR RI pada Pemilu serentak 2019. Dia maju di daerah pemilihan (Dapil) satu, meliputi Padang, Pesisir Selatan, Solok Raya, Dharmasraya, Sijunjung, Sawahlunto, Mentawai, Padang Panjang, dan Tanah Datar.
Beriringan dengan pencalegan, Andre juga ditunjuk sebagai juru bicara capres-cawapres Prabowo dan Sandiaga Uno. Namanya kian melambung. Dengan posisi sebagai juru bicara, Andre memperluas ranah kritikannya, dari sekadar Padang, Sumbar ke nasional. Pentasnya berbeda. Andre paling gencar berkampanye untuk Prabowo – Sandiaga, dan mampu mengelola sisi negatif lawan Prabowo – Sandiaga dengan baik. Andre wara-wiri di televisi. Secara tak langsung, ketokohannya diakui secara nasional.
Editor : Redaksi