Catatan Bhenz Maharajo: Andre Rosiade, Politisi Dua Wajah

×

Catatan Bhenz Maharajo: Andre Rosiade, Politisi Dua Wajah

Bagikan berita
Catatan Bhenz Maharajo: Andre Rosiade, Politisi Dua Wajah
Catatan Bhenz Maharajo: Andre Rosiade, Politisi Dua Wajah

Membawa gaya baru di kancah politik Sumatera Barat, Andre Rosiade menjadi sosok yang dipuja proletar, namun kurang disenangi tataran elit. Andre memainkan dua peran sekaligus; dibenci dan disenangi. Menjadikannya politisi muda Minang yang paling fenomenal, sekaligus kontroversial saat ini.

Saya mengenal Andre Rosiade sejak sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu saya jurnalis Posmetro Padang, Andre pengusaha yang sedang jadi media darlingberkat langkah politiknya pada awal-awal 2012. Andre gencar mengkritik pemerintah, sedangkan saya gencar mengkritik langkah politiknya. Saya tak suka gaya komunikasi Andre yang jauh dari dialektika urang awak. Anggapan saya ketika itu, seorang politisi harus santun, termasuk dalam mengkritik. Andre tidak. Dia blak-blakan. Andre barangkali juga tidak suka dengan saya waktu itu. Hubungan kami pasang surut, tapi tak pernah tidak saling bersapa dan bertanya kabar.

Andre muncul di saat politik Padang sedang panas-panasnya. Pemilihan wali kota kian dekat, sementara Fauzi Bahar sebagai petahana, tak lagi bisa maju karena sudah dua periode. Pertarungan terbuka. Perebutan sengit. Andre datang sewaktu kecamuk politik sedang bajadi. Dengan jargon, “Ayo Jadi Pengusaha”, baliho Andre yang masih berusia 33 tahun terpampang di ruas-ruas strategis Kota Padang. Kehadirannya menimbulkan tanda tanya. Siapa lelaki berkacamata dan berbatik yang tiba-tiba hadir ini? Ujuk-ujuk memenuhi ruang publik dengan balihonya?

Andre memang belum dikenal di kota kelahirannya. Dia memulai nama besarnya di tanah perantauan. Menamatkan pendidikan formal di SMA Negeri 2 Padang, Andre terbang ke Jakarta, dan kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti. Di kampus penuh sejarah itu, Andre tidak sekadar kutu buku, yang datang ke kampus untuk belajar. Dia meleburkan dirinya dalam bermacam kegiatan kemahasiswaan. Andre aktivis kampus, yang lantang bersuara. Tahun 2000, dia terpilih sebagai Presiden Mahasiswa Trisakti. Jabatan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) juga dipegangnya.

Penat melanglang buana, dan menimpa ilmu, Andre pulang kampung. Dia mengamalkan benar hakikat lelaki Minangkabau; Karakatau madang di hulu, babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun. Dia merasa sudah cukup ilmu dan pengalaman, untuk memulai langkah pengabdiannya untuk kampung halaman. Andre politisi yang diasah pengalaman, masak di batang. Dia bukan hasil peraman. Bukan politisi masak secara instan. Andre masak di batang.

Namun, pada Pilkada Padang 2014, nama besar yang dibawa Andre dari Jakarta, tak mangkus untuk melunakkan hati partai politik. Andre yang awalnya digadangkan berpasangan dengan Mahyeldi Ansharullah sebagai wakil wali kota tergelincir di tikungan akhir. Mahyeldi akhirnya berpasangan dengan Emzalmi, pamong sarat pengalaman, yang terakhir menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Padang. Andre sempat down, dia merasa sengaja disingkirkan. Berita-berita koran lokal waktu itu menyoroti kesialan Andre yang gagal maju. Kepada publik, Andre dengan tegas menyebut, kalau dia memang sengaja dibuang, disingkirkan.

Banyak yang memperkirakan, karir politik pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sumbar tersebut sudah tamat. Menganggap Andre telah kehilangan momentum. Dia ibarat kuncup bunga yang gagal berkembang karena dicerabut dari dahan. Di tataran elit, Andre dianggap sudah tidak ada. Bahkan, dirinya sering dijadikan cemoohan. Dianggap jawi ketek gadang languah.

Mereka, para pencemooh Andre lupa, bahwa Andre sebenarnya tidak kalah. Benar, dia batal maju, tapi sebagai politisi yang baru datang, Andre berhasil membangun citra diri, mencuri perhatian, bahkan menjadi tokoh baru. Bukan hanya di Padang, tapi juga Sumbar. Nama Andre dibicarakan. Sebagai politisi, Andre sebenarnya berhasil.

Usai pilkada 2014, Andre memang sempat menepi. Dia jarang muncul ke permukaan. Walau jarang muncul, Andre masih menjaga jaringan, membangun basis. Dia sering mendatangi warga, turun ketika bencana datang, menyapa kaum duafa yang terpinggirkan. Andre hadir secara fisik, tapi tidak terserot media. Selama menepi, Andre mempelajari watak pemilih, pola permainan politik di Sumbar, khususnya Padang, dan mencoba mencari pemahaman dari para sepuh.

Sekitar dua tahun tak banyak bicara, Andre kembali menggebrak. Merasa kepemimpinan Mahyeldi – Emzalmi jauh dari visi-misi yang dirancang sewaktu berkampanye, kritik dilancarkan. Andre sosok yang paling sering melancarkan kritik kepada Mahyeldi. Soal tata kelola pasar, soal pembangunan yang dirasa Andre tidak merata, dan tentang kemaksiatan.

Editor : Redaksi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini