Sehingga lambat laun rakyat di kota pun percaya, bahwa penggalan kepala yang diarak berkeliling itu, betul-betul kepala Si Patai. Sebaliknya rakyat yang membenci Belanda menganggap bahwa kepala yang terpenggal itu, kepala seorang pahlawan bangsa.
Kisah lainnya, yang disadur dari berbagai Sumber, menyebutkan kalau melihat begitu banyak korban, anak-anak jadi yatim dan perempuan menjadi janda, para penghulu Pauh minta kepada Si Patai agar meninggalkan kampung untuk sementara.
Sampai situasi aman. Karena menurut para penghulu itu, melawan pemerintah yang bersenjata kuat, hanyalah akan menambah kesengsaraan rakyat. Konon Si Patai menyingkir ke Teluk Kuantan. Dari sana dia menyeberang ke Semenanjung, yang kini bernama Malaysia.
Namun dendam rakyat yang keluarganya terbunuh, isteri-isteri yang kehilangan suami, anak-anak yang kehilangan ayah, tidak hilang sama sekali oleh kekejaman operasi tentera yang mereka alami itu.Dua puluh tahun kemudian, generasi yang lain melakukan pemberontakan lagi. Berbaringan dengan pemberontakan komunis tahun 1926. Namun mereka pun masih dikalahkan. Dua puluh tahun pula setelah itu kembali rakyat melawan. Perlawanan yang terakhir ini dalam rangkaian perang kemerdekaan bangsa ini.
Si Patai Maharajo Jambi, sampai matinya, telah menunjukkan penentangannya terhadap sifat busuk kolonialisme itu. (*)
Editor : Redaksi