“Uda, dan kawan-kawan yang lain, tak perlu menjaga badan saya, tapi jaga langkah, sikap dan perbuatan saya. Jika saya salah langkah, ingatkan. Kalau saya sudah jauh dari ladang pengabdian, jemput lagi saya, bawa kembali ke ladang pengabdian itu. Saya paham, jalan politik adalah jalan pedang, penuh kepedihan, tapi tentu dalam mengabdi saya ingin tenang,” sebutnya.
Permintaan Rezka untuk menjaga langkahnya itu, merupakan permintaan terakhir di pertemuan kami. Banyak cerita yang bersifat pribadi, yang mustahil terungkap. Tapi satu yang pasti: Rezka punya harapan baik, harapan tersebut harus dilaksanakan secara bersama-sama!
Kami berdiri, dan sama-sama menyimpan keinginan untuk terus berbuat bagi kampung halaman, dengan cara masing-masing. Saya melangkah, Rezka melangkah, pada arah yang berbeda, tapi langkah yang diurak usai pertemuan dua jam itu bukan langkah perpisahan, namun langkah awal untuk bersama-sama larut dalam pengabdian!
****
Saya sengaja menyelesaikan tulisan ini di subuh 15 Januari. Hari ini, hari bersejarah bagi orang Luak Limapuluh, khususnya Situjuah Limo Nagari. Sejarah itu bernama Peristiwa Situjuah. Tragedi berdarah yang menewaskan syuhada bangsa pada 15 Januari 1949. Peristiwa yang merupakan mata rantai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 1948-1949 di Sumatera Tengah dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Bagi orang Situjuah yang lima nagari itu, Peristiwa Situjuah adalah identitas dan kebanggaan. Tak peduli apakah Situjuah Banda Dalam, Situjuah Gadang, Situjuah Batua, Situjuah Ladang Laweh, Situjuah Tungka, kebanggaannya tetap sama. Tiap tanggal 15 Januari inilah rasa cinta dan kebanggaan sebagai orang Situjuah melambung. Merasa sebagai generasi yang pendahulunya punya andil dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini.Tapi akhir-akhir ini saya agak resah. Kabarnya, ada segelintir orang yang mengacak-acak garisan sejarah. Baru sebatas kabar, tapi resahnya membuat pangkal telinga panas. Kabarnya pula, ada upaya menukar nama Peristiwa Situjuah menjadi Peristiwa Situjuah Batua. Jika benar, saya menolak keras upaya sok gagah-gagahan dan sok berkuasa akan sejarah tersebut!
Peristiwa Situjuah adalah rentetan sejarah yang tak bisa dikerdilkan hanya sebagai milik komunal tertentu. Jangan cerabut sejarah dari akarnya. Sejarah ini milik bersama. Jangankan orang Situjuah, siapa saja, selagi merah putih di dadanya, berhak memiliki sejarah ini. Alangkah piciknya kalau ada yang mengkapling sejarah, yang entah untuk kepentingan apa. Mengubah nama Peristiwa Situjuah, tak berhenti soal mengubah huruf-hurufnya saja, tapi juga mengubah identitas, merampas kebanggaan yang berpuluh tahun tak pernah diusik. Ini tragis.
Mengubah garisan sejarah, bagi saya bagian dari upaya tidak menghargai sejarah itu sendiri. Benar, peristiwanya di Lurah Kincia, Situjuah Batua. Tapi tentu itu tidak bisa menjadi pembenaran dalam mengubah sejarah. Makam pahlawan Situjuah, tidak hanya ada di Situjuah Batua, tapi juga di Situjuah Banda Dalam, dan Situjuah Gadang. Pejuang-pejuangnya juga berasal dari berbagai latar dan asal. Khatib Sulaiman contohnya, tokoh inti peristiwa Situjuah ini orang Tanah Datar, bukan orang Situjuah Batua. Lepas dari lokasi makam, asal syuhada, kebanggan dirasakan merata, terutama di Situjuah. Dengan demikian, peristiwa ini mestinya dijadikan universal, bukan malah dikerdilkan.
Keresahan saya bukan karena saya tidak orang Situjuah Batua tulen. Sedikit saja tidak. Di nadi saya juga mengalir darah Situjuah Batua. Pekat. Bapak saya orang sana. Induak bako saya di sana. Kuburan Datuak saya tak jauh dari Lurah Kincia, tempat sejarah itu bermula. Saya juga tidak resah pada orang Situjuah Batua secara umum. Saya resah kalau memang ada orang-orang yang seolah sejarah milik mereka saja, lalu mereka acak-acak sekehendak kepentingan. Saya berharap semoga kabar yang saya dengar hanya sekadar kabar burung. Tidak sebenar-benarnya. Semoga tidak. Semoga ota semata. Sebab, kalau benar, malu kita. Pada sejarah saja kita tidak adil, apalagi pada masa depan.
Editor : Redaksi