Kamis sore, pekan lalu, saya bertemu Rezka Oktoberia. Pertemuan yang direncanakan sejak enam tahun lalu, tapi baru terlaksana di sore yang lembab itu. Saya merasa terhormat diundang untuk berdiskusi dengannya. Empat mata.
Rinai turun dengan pelan, senja yang tak biasa di Kota Padang. Kota ini, kota angek badangkang, tapi tidak pada sore itu. Hawa dingin. Orang-orang memakai lengan panjang. Pukul 17.40 WIB, saya sudah tergopoh menyusuri anak tangga areal parkir menuju restoran Hotel Mercure, hotel di pinggir laut yang menjadi monumen kebangkitan Padang dari gempa besar yang menghoyak di ujung September 2009. Mercure memang dibangun setelah gempa besar itu. Di sana kami bersua.
Sampai di areal resto, mata saya menyapu tiap sudut, berharap agar Rezka tidak duluan tiba. Tapi sial, dia sudah di sana. Katanya sejak pukul 17.00 WIB lewat sedikit. Kami memang berjanji pukul 17.00 WIB. Saya telat. Seperti biasa, itu kelemahan saya. Berleha-leha. Berjanji pukul 17.00 WIB, berangkatnya pukul segitu juga. Walau menunggu lebih setengah jam, Rezka tetap tersenyum. Dia mengulurkan kepalan tangan, saya juga. Itu gaya baru bersalaman semenjak pendemi covid.
Kami saling menyapa. Ini pertemuan pertama. Saya kenal Rezka, dia juga kenal saya. Tapi lewat media sosial, Facebook, Twitter atau WhatsApp. Kadang, katanya dia membaca tulisan saya di koran-koran lokal. Saya sendiri tahu nama Rezka jauh sebelum dia dikenal sebagai calon anggota legislatif (caleg) DRP RI. Namanya telah mampir di telinga sebagai orang di lingkaran Cikaes. Saya lupa siapa yang berbicara, yang jelas waktu itu dia menyebut; Ada perempuan yang berasal dari Ranah Minang, yang dekat dengan pemilik kebijakan di Partai Demokrat. Perempuan yang diamanahi kepercayaan lebih oleh mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarganya. Orang itu Rezka Oktoberia.
Meski selama ini tidak saling bertatapan, kami saling menjaga dengan cara masing-masing. Saya acap kali memberikan saran, Rezka juga, sewaktu saya terbentur persoalan hukum, dia termasuk orang pertama yang mengirim pesan untuk terus semangat. Demikianlah, di dunia yang sudah serba cigin ini, terkadang pertemuan langsung hanya untuk melengkapi komunikasi.
Rezka adalah sejarah baru. Dia tercatat sebagai orang Gonjong Limo (Payakumbuh dan Limapuluh Kota-red) pertama yang duduk sebagai anggota DPR RI. Tak orang lain yang mencatat namanya di lipatan sejarah, tapi dia sendiri yang menulis. Memang, ada beberapa tokoh asal Gonjong Limo yang duduk di parlemen, tapi dapilnya bukan dapil II Sumbar. Luar daerah. Seperti Fadli Zon. Orang Limapuluh Kota, tapi duduk sebagai wakil dari Jawa Barat. Dia bertarung di sana. Rezka tidak. Dia memang bertarung dari nol di kampung halamannya.Rezka maju bersama Partai Demokrat. Nomor urut dua, di bawah Mulyadi. Ketika Mulyadi memutuskan maju sebagai calon gubernur berpasangan dengan Ali Mukhni, otomatis dia harus melepas jabatan keanggotaannya di DPR RI. Rezka penggantinya. Suaranya memang di bawah Mulyadi. Rezka dilantik pada 17 Desember. Baju kuruang birunya kala pelantikan, jadi buah bibir. Dia memang anggun memakai baju khas Minang tersebut.
Usai bertanya kabar, Rezka berkisah tentang liku yang dijalaninya hingga duduk sebagai anggota Komisi III DPR RI. Semua berawal dari kenangan masa silam. Rezka besar dan tumbuh di Payakumbuh. Menempuh pendidikan dasar di SD Pius Payakumbuh, lanjut SMP Fidelis dan SMAN 2 Payakumbuh, Rezka selalu diceritakan orang-orang dekatnya tentang betapa tanah yang dipijaknya, adalah tanah penuh sejarah yang tertidur oleh kemashyuran masa silam. Payakumbuh, Limapuluh Kota, memang punya andil besar dalam pergerakan menuju kemerdekaan bangsa. Namun, seiring waktu berjalan, dua daerah tersebut, seolah tersisih, hanya penambah cerita.
Kisah tentang tanah kelahirannya terngiang. Rezka ingin berbuat, “membangunkan” kampungnya dari tidur panjang. Bahkan sampai dia menempuh pendidikan di Universitas Padjajaran, Bandung, di ABFI Institute Perbanas dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam, Jakarta, keinginannya untuk mengabdi pada kampung halaman tak hilang. Hidup di perantauan tak membuat Rezka merasa jauh dari tempat ari-arinya tertanam.
“Merasa berdosa sekali rasanya, ketika di perantauan bisa hidup tenang, sementara kampung halaman masih seperti itu. Saya seolah terus dipanggil untuk pulang, untuk berbuat,” katanya usai menyeruput kopi hitam yang dipesan.
Editor : Redaksi