Sejarah Cagar Budaya Stasiun Kereta Api Payakumbuh di Kota Payakumbuh

×

Sejarah Cagar Budaya Stasiun Kereta Api Payakumbuh di Kota Payakumbuh

Bagikan berita
'- Stasiun Kereta Api Payakumbuh menjadi salah satu cagar budaya tidak bergerak yang ada di Kota Payakumbuh, Sumatra Barat (Sumbar). | Foto: BPCB Sumbar|Foto: BPCB Sumbar|Foto: BPCB Sumbar
'- Stasiun Kereta Api Payakumbuh menjadi salah satu cagar budaya tidak bergerak yang ada di Kota Payakumbuh, Sumatra Barat (Sumbar). | Foto: BPCB Sumbar|Foto: BPCB Sumbar|Foto: BPCB Sumbar

Pembangunan transportasi Kereta Api (beserta jalur/relnya) di Kota Payakumbuh tidak terlepas dari perkembangan dan kemajuan sarana transportasi pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia umumnya dan Sumatera Barat khususnya.

Kereta Api mulai diperkenalkan di Indonesia oleh sebuah perusahaan swasta NV, Nederlandsch Indische Spoorweg Mij (NISM) pada tahun 1864.

Jalur pertama yang dibangun yakni Kalijati-Tanggung, Semarang pada tanggal 17 Juni 1864 dan diresmikan oleh Gubernur Jenderal L.A.J Baron Sloet Van Den Beele.

Baca juga: Sejarah Cagar Budaya Stasiun Kereta Api Naras di Kota Pariaman

Guna pengembangan pembangunan jalur KA di Indonesia maka dihadirkan 11 perusahaan KA swasta di Pulau Jawa dan 1 di Pulau Sumatera. Pembangunan jalur KA ini keseluruhan berada dalam pengawasan Departemen Van BOW atau pekerjaan umum.

Di luar Jawa, 12 Nopember 1876, Staats Spoorwegen juga membangun jalur Ulele-Kutaraja (Aceh). Selanjutnya lintasan Palu Aer-Padang (Sumatera Barat) pada Juli 1891, lintasan Telukbetung-Prabumulih (Sumatera Selatan) tahun 1912.

Pembangunan KA Payakumbuh ini diperkirakan  sekitar awal abad 20 dengan memperkerjakan tenaga romusha yang pada umumnya didatangkan dari Pulau Jawa. Jalur kereta Payakumbuh ini merupakan pengembangan lintasan dari Bukittinggi ke Payakumbuh.

Setelah kemerdekaan, seluruh jaringan kereta api diambil alih oleh karyawan perusahaan kereta api yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari Jepang.

Hal ini ditandai dengan pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya menegaskan bahwa mulai hari itu kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia sehingga Jepang sudah tidak berhak untuk mencampuri urusan perkeretaapian di Indonesia pada tanggal 28 September 1945.

Baca juga: Sejarah Situs Cagar Budaya Stasiun Kereta Api Kota Solok di Kota Solok

Editor : Redaksi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini