Serial Minangkabau dalam Pikiran Cak Imin (1): Berpikirlah Seperti Orang Minang

×

Serial Minangkabau dalam Pikiran Cak Imin (1): Berpikirlah Seperti Orang Minang

Bagikan berita
Muhaimin Iskandar|Muhaimin Iskandar (Foto: IG @cakiminow)
Muhaimin Iskandar|Muhaimin Iskandar (Foto: IG @cakiminow)

Kecerdasan yang dimiliki oleh orang Minang, berbanding lurus dengan iman yang dimiliki. Tingkat religious orang Minang memang tidak akan bisa ditakar. Tebal. Keputusan yang diambil orang Minang, tidak semata didasari oleh pemikiran duniawi semata, tapi juga pemikiran religious. Keseimbangan antara ilmu dan agama membuat setiap keputusan yang diambil jarang meleset. Selalu tepat.

Minangkabau, baik secara suku, budaya dan sejarah, merupakan sebuah kemashyuran. Baik di masa silam, atau di masa sekarang. Majalah Tempo pada tahun 2000 bahkan mencatat, enam dari 10 tokoh penting di negeri ini pada abad 20, merupakan orang Minangkabau. Bahkan, dari empat pahlawan yang menjadi pendiri Republik Indonesia, tiga orang merupakan putera Minangkabau.

Lipatan kemashyuran Minangkabau memang tak bisa dimungkiri, tengoklah sejarah, bagaimana orang Minangkabau mengorbankan segalanya untuk bangsa ini. Terlepas dari nama besar Bung Hatta, Inyiak Canduang, Tan Malaka, Tuanku Imam Bonjol dan deretan nama besar lainnya, gerakan civil society di Ranah Minang yang berkiblat pada nasionalisme memang tidak bisa dikesampigkan begitu saja. Pesawat ketiga yang dipunyai Indonesia dibeli dengan harta sumbangan perempuan-perempuan Minang. Bundo kanduang rela melepaskan gelang emasnya, liontin bahkan antingnya untuk pembeli pesawat Avro Anson RI-003.

Peristiwa bersejarah pada 27 September 1947 membuktikan, kalau bangsa dan negara ini adalah cinta pertama orang Minangkabau dalam ruang politik. Cinta yang melanda seluruh putra-putrinya tanpa terkecuali. Indonesia bagi orang Minang adalah harga mati, tidak bisa diganggu gugat. Saya sejujurnya, mengangkat topi atas sikap sejarah yang dilakukan.

“Menjadi” orang Minangkabau secara pemikiran, bagi saya suatu kebanggaan. Bahkan, gagasan-gagasan yang menjadi penopang tumbuh kembangnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dewasa ini banyak didasari oleh filosofi Minangkabau, dan terpengaruh oleh langkah politisi diplomasi pendahulu dari negeri cadiak pandai itu. Politik yang dimainkan orang Minang merupakan politik murni. Instrumennya kejujuran, amanah dan totalitas.

Tiga instrumen itu memunculkan hirarki politik yang dinamis. Orang Minangkabau tidak mengenal pola kepemimpinan otoriter. Beda dengan daerah lain, pemimpin di Minangkabau bukan pemimpin yang dikultuskan. Mereka, yang ditunjuk sebagai pemimpin, hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Artinya, Demokrasi begitu hidup.  Saya mengira, demokrasi yang paling bersih itu ada di Minangkabau. Bahkan, siapa saja di Minangkabau, tanpa menunjuk latar, asal, pangkat dan jabatan, punya hak untuk mengkritik. Rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah. Artinya, ketaatan orang Minangkabau pada pemimpinnya, berlaku Ketika pemimpinnya adil dan amanah. Tapi, ketika pemimpinnya sudah zalim, keluar dari jalur, masyarakat Minangkabau akan lantang bersuara, mengkritik. Filosofi inilah yang pada akhirnya membuat saya paham, kenapa orang Minang tidak punya urat takut dalam membela kebenaran, tajam mengkritik, dan keras dalam melawan. Mereka memang sudah diajarkan sedari kecil untuk terus menjaga nilai-nilai luhur, termasuk nilai dalam berpolitik. Jika nilai itu dilanggar, reaksi keras akan dilakukan.

Minangkabau, bagi saya adalah harapan. Di lekuk-lekuk Bukit Barisan, wawasan kebangsaan mekar secara alami. Orang-orang Minangkabau, berwatak keras tentang kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah jalan buntu. Tak bisa dibelok-belitkan. Harga mati. Itu kenapa, pada akhirnya banyak orang-orang Minangkabau yang bersuara lantang, melawan sesuatu yang menurut mereka pantas dilawan.

Saya terkesima degan sikap keminangan demikian, dan selalu berharap bisa “menjadi” orang Minang seutuhnya! (*)

Editor : Redaksi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini