Catatan Bhenz Maharajo: Supardi, dari Kursi STM ke Kursi Ketua Dewan

×

Catatan Bhenz Maharajo: Supardi, dari Kursi STM ke Kursi Ketua Dewan

Bagikan berita
Catatan Bhenz Maharajo: Supardi, dari Kursi STM ke Kursi Ketua Dewan
Catatan Bhenz Maharajo: Supardi, dari Kursi STM ke Kursi Ketua Dewan

Menjadi Guru Kehidupan

Setelah melanglang buana di beragam organisasi, Supardi pernah “menghilang”. Dia tak pulang-pulang dalam waktu yang lama. Banyak yang cemas, dia dijapuik malam. Padahal tidak, Supardi berpetualang ke pelosok-pelosok Indonesia, menemui orang-orang terpapar kehidupan berat. Dia tinggal di lorong-lorong kota, di pedalaman Sumatera, mencoba mencari intisari kehidupan. Sebagai aktivis, Supardi menjauhkan hidupnya dari sikap hedonis. Dia ingin apa adanya, berteman dengan siapa saja.

Untuk menyambung hidup, Supardi bekerja serabutan. Selama menetap di Pekanbaru, Supardi menjual bakso keliling. Pakai gerobak. Dia bahkan pernah terlibat menjual barang-barang illegal. Ketika di Jakarta, Supardi menjadi satpam di salah satu hotel yang merupakan milik saudagar Minang, lalu berdagang kain seken di kawasan Senen.

Berbilang tahun tidak pulang, Supardi kembali menginjak Payakumbuh. Dia memang tak bisa meninggalkan kota itu sepenuhnya. Hatinya terpaut di sana. Kepulangannya ditunggu. Supardi memang sudah menjadi buah bibir oleh para tokoh, sebagai anak muda yang konsisten dalam langkah dan tindakan. Bahkan, dalam pergerakan, dia memupus harapannya sendiri untuk kuliah, dan memilih untuk berada di sisi masyarakat yang hidup melarat. Supardi lalu berkegiatan di Training College.

Sampai di Payakumbuh, Supardi ditawari Drs Dalius untuk menjadi guru di Pesantren Alkautsar, Tanjung Pati. Kala itu, Pesantren Alkautsar sedang dibelit persoalan terkait kenakalan santri-santrinya. Supardi awalnya menolak, dia memang tidak punya basic ilmu untuk mengajar di sekolah resmi. Tapi, orang-orang yang mengajaknya percaya Supardi bisa, karena walau muda tapi banyak makan asam garam. Dia akhirnya menerima tantangan itu.

Masuk Alkautsar, Supardi menemukan hal mengejutkan. Santri-santri di sana kelewat nakal. Banyak para guru, ustaz yang angkat tangan. Supardi lalu mempelajari pola pengajaran yang selama ini dilaksanakan. Ada beberapa yang tak tepat. Dia lalu masuk ke kehidupan anak-anak nakal itu. Tidur bersama para santri, dan perlahan mencoba mengubah hal buruk.

Supardi awalnya keras, santri yang bersalah dihukum. Tapi, setelah mendapat hukuman, dia berbicara seolah-olah teman dengan para santri. Pendekatan yang dilakukannya berhasil. Para santri perlahan berubah.

Di Alkautsar, Supardi diminta mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris. Dia kaget, dia tak pandai berbahasa inggris. Namun, kepalang tanggung, dia akhirnya mau mengajar. Caranya agak lucu. Sebelum mengajar di pesantren, Supardi terlebih dahulu les Bahasa Inggris di Training College. Apa yang dipelajarinya itulah yang diajarkannya pula kepada para santri. Apa yang didapatkannya dari guru di Training College, itu pula yang diberikan kepada santri. “Saya mengajar sambil belajar,” ucapnya sembari tertawa.

Tak sampai di situ, Supardi juga dipaksa mengajar Bahasa Arab. Dia kembali melakukan metode yang sama; belajar di Training College, lalu memberikan ilmu yang didapatnya itu kepada para santri Pesantren Alkautsar. “Bahkan, santri saya banyak yang lebih pintar dari saya. Mereka mencari ilmu-ilmu baru dari yang saja ajarkan. Itu terbukti ketika ada utusan Arab yang datang ke pesantren, saya yang diminta jadi penerjemah, padahal saya tidak fasih berbicara. Santri saya yang maju,” katanya.

Kedekatan yang dibangun Supardi dengan santri, menimbulkan tali asih. Para santri tidak sekadar menganggap Supardi gurunya, ustaz, tapi orang tua sekaligus kawan. Supardi tempat mengadu mereka, menimba ilmu, dan bercanda. Alkautsar perlahan menjadi besar.

Editor : Redaksi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini