Kelaparan Bukanlah Kekurangan Makanan, Melainkan Kesendirian di Mentawai

×

Kelaparan Bukanlah Kekurangan Makanan, Melainkan Kesendirian di Mentawai

Bagikan berita
Seorang wanita mengumpulkan ikan kecil, udang, dan katak di taman talas pada musim hujan. Taro adalah ruang gender, penting secara budaya dan ekonomi bagi perempuan (2018) | Photo via Teofilus Samekmek/Leiden
Seorang wanita mengumpulkan ikan kecil, udang, dan katak di taman talas pada musim hujan. Taro adalah ruang gender, penting secara budaya dan ekonomi bagi perempuan (2018) | Photo via Teofilus Samekmek/Leiden

Keluarga itu memberi tahu saya bahwa saya akan 'lapar'. Kelaparan dikaitkan dengan kesepian oleh orang Mentawai. Jadi bukan kuantitas makanan yang penting bagi mereka, tapi makanan apa dan dengan siapa Anda bisa memakannya.

Tidak Ada Kepuasan Setelah 300 Kilogram Beras

Masyarakat desa memperoleh makanan dari ekosistem sekitarnya seperti ladang sagu, ladang talas, kebun, hutan dan sungai, laut dan hutan bakau.

Selain makanan nabati yang tersedia melimpah, penduduk desa juga memiliki akses ke makanan hewani dan rutin makan daging dan ikan.

Orang-orang mengonsumsi tiga kali makan yang layak sehari dan dalam sekitar 70% kasus, makanan tersebut mengandung ikan atau daging.

"Sagu dan daging dipandang sebagai makanan yang memuaskan. Jika seorang Mentawai memiliki 300 kilo beras per tahun tetapi dia sendirian, ia tidak akan merasa kenyang dan akan mengatakan ia lapar," Darmanto.

"Program pemerintah memberikan beras kepada orang Mentawai, misalnya, tidak banyak menambah. Itulah pentingnya studi saya," ujarnya lagi.

Kita harus mengetahui keadaan budaya lokal dan spesifik untuk mengetahui apakah orang merasa puas dan apakah mereka merasa aman.

"Program Beras untuk Orang Miskin (Beras Untuk Orang Miskin) yang dikirim ke pulau ini tidak terlalu berkualitas dan terkadang diberikan kepada babi dan ayam," paparnya.

Baca juga: Guru dan Tantangan Masa Pandemi Covid-19 di Kota Padang

Editor : Redaksi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini