Catatan Penting Refleksi LBH Pers se-Indonesia di Hari Pers Nasional

×

Catatan Penting Refleksi LBH Pers se-Indonesia di Hari Pers Nasional

Bagikan berita
Ilustrasi | Jurnalis Sumatera Barat (Sumbar) saat melakukan aksi damai di Tugu Gempa Padang sebagai bentuk perlawanan atas pembungkaman pemerintah terhadap media pers. (Dokumen Roni Rajo Batuah/Halonusa)
Ilustrasi | Jurnalis Sumatera Barat (Sumbar) saat melakukan aksi damai di Tugu Gempa Padang sebagai bentuk perlawanan atas pembungkaman pemerintah terhadap media pers. (Dokumen Roni Rajo Batuah/Halonusa)

Hari Pers Nasional harus menjadi momentum bagi pemerintah, khususnya bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI untuk melakukan pembinaan dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh bagi kepala daerah maupun pejabat publik di daerah.

Dampak UU Cipta Kerja Semakin Terasa Bagi Pekerja Media

Dalam beberapa kasus ketenagakerjaan UU Cipta beserta peraturan turunannya mulai diberlakukan kepada pekerja-pekerja di industri media meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan penangguhan kepada UU Tersebut.

Hal yang paling “dimanfaatkan” oleh pengusaha adalah alasan efisiensi dalam melakukan pemutusan hubungan Industrial. Alasan ini sering dijadikan dalih yang tidak “objektif” oleh pengusaha untuk melakukan PHK.

Kasus lain adalah gugatan hubungan industrial pekerja Sindo dikalahkan oleh Majelis Hakim PHI pada akhir tahun 2021. Dalam putusan ini disebutkan bahwa karena alasan kedaruratan wabah, sehingga pengusaha boleh melakukan penugasan kerja meskipun perusahaan dianggap tutup operasional, dipindahkan ke badan hukum berbeda dan jobdes yang berbeda.

LBH Pers melihat pola dalih efisiensi dan keadaan darurat dalam melakukan pelanggaran ketenagakerjaan masih mungkin akan menjadi pola pelanggaran di tahun 2022.

Hapuskan Pasal Mengriminalisasi Kebebasan Pers

Pada tanggal 16 Desember 2021, DPR RI mengatakan telah menerima Surpres Revisi UU ITE namun hingga kini belum ada pembahasan yang lebih serius terhadap Draft Revisi UU ITE yang diusulkan oleh Pemerintah.

Beberapa Pasal yang sering menghambat kegiatan pers adalah Pasal 28 ayat (2), 27 ayat (3) dan Pasal 40 ayat (2a). Selain pasal-pasal tersebut Pemerintah di dalam drafnya juga mengusulkan penambahan pasal terkait pemidanaan berita bohong. Pasal ini diadopsi dari UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana ke dalam tambahan pasal di draft revisi UU ITE. Dalam praktiknya pasal ini juga sering kali disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi kebebasan berekspresi.

Kekerasan Seksual di Industri Media

Kekerasan seksual juga terjadi di industri media ketika sedang melakukan kerja-kerja jurnalistik dan kekerasan seksual di lingkungan kerja. Kekerasan yang dialami oleh jurnalis beragam gender, kerap mengalami serangan seksual secara fisik, verbal maupun digital saat melakukan peliputan ke lapangan.

Hal ini perlunya dari pihak pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang dimana payung hukum perlindungan korban bagi kekerasan seksual masih belum ada hingga saat ini. Selain itu, dari sisi pengusaha industri media segera membuat Standar Operasional Penanganan (SOP) Kekerasan Seksual di lingkungan kerja, yang dimana SOP ini adalah sebagai pedoman penanganan sekaligus bentuk perlindungan bagi pekerja media dan wartawan.

Selain kekerasan seksual yang menimpa para wartawan dan pekerja media, perlunya pemberitaan ramah gender yang hingga saat ini belum menjadi perhatian serius bagi wartawan, industri media dan lembaga Dewan Pers.

Editor : Redaksi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini