Catatan Penting Refleksi LBH Pers se-Indonesia di Hari Pers Nasional

×

Catatan Penting Refleksi LBH Pers se-Indonesia di Hari Pers Nasional

Bagikan berita
Ilustrasi | Jurnalis Sumatera Barat (Sumbar) saat melakukan aksi damai di Tugu Gempa Padang sebagai bentuk perlawanan atas pembungkaman pemerintah terhadap media pers. (Dokumen Roni Rajo Batuah/Halonusa)
Ilustrasi | Jurnalis Sumatera Barat (Sumbar) saat melakukan aksi damai di Tugu Gempa Padang sebagai bentuk perlawanan atas pembungkaman pemerintah terhadap media pers. (Dokumen Roni Rajo Batuah/Halonusa)

Potensi Kasus Pemidanaan Kepada Wartawan Terbuka Lebar

Hal ketiga ini akan menjadi preseden tiga putusan yang hakim yang menjatuhkan vonis pidana kepada tiga wartawan, Sadli Saleh, Diananta dan Asrul. Dari ketiga kasus terlihat pola hakim menjatuhkan vonis pidana, beberapa di antaranya adalah menggunakan dokumen keputusan etik Dewan Pers untuk melegitimasi pelanggaran hukum.

Meskipun Dewan Pers sudah secara tegas menyampaikan bahwa proses sengketa terhadap karya jurnalistik seharusnya diselesaikan melalui mekanisme sengketa pers di Dewan Pers. Meskipun pendapat Dewan Pers tentang keputusan pelanggaran etik digunakan dalam pertimbangan oleh Hakim namun di aspek lain Hakim tidak menggunakan argumentasi Dewan Pers yang menyatakan penyelesaiannya harus diselesaikan melalui mekanisme sengketa pers.

Pola lain yang juga serupa adalah dimana lembaga-lembaga penegak hukum dari tingkat penyelidikan hingga pengadilan terkadang “mengabaikan” rekomendasi/penilaian Dewan Pers. Padahal dalam kerja-kerja Dewan Pers berdasarkan mandat dari UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dipandang “Tidak setara” antara Dewan Pers dengan Institusi Negara atau Penegak Hukum lainnya, berakibat tidak kasus kriminalisasi terus berlanjut dan membahayakan kebebasan pers.

Selain itu tanggal 9 Februari 2022 merupakan masa habis MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri terkait Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan dan Inisiasi Revisi UU ITE.

Dalam praktiknya, MoU ini merupakan salah satu instrumen bagi pers untuk mendorong dekriminalisasi terhadap pers. Sehingga MoU ini menjadi sangat penting untuk diperpanjang dan diperkuat dalam kaitannya mencegah kriminalisasi terhadap wartawan.

Salah satu poin penting yang layak dipertimbangkan adalah memasukkan pengecualian terhadap penjeratan Pasal 27 ayat 3 UU ITE kepada jurnalis seperti tertuang di dalam SKB Jaksa Agung, Kapolri dan Menkominfo tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Di luar dari Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang juga penting untuk masuk pengecualian adalah Pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Sedangkan Revisi UU ITE, adalah penghapusan pasal-pasal karet seperti Pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2 UU ITE. Momentum revisi ini juga penting dimanfaatkan oleh stakeholder pers (Dewan Pers, Organisasi Wartawan, Organisasi Perusahaan Pers dll) untuk mendorong lebih kencang legislator membuat regulasi yang melindungi kebebasan pers.

Pelaku Kekerasan Terhadap Pers Banyak Dari Pejabat Publik

Angka kekerasan terhadap pers Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan catatan tahunan LBH Pers pada tahun 2021 terjadi setidaknya 55 kasus, di mana terduga pelaku masih didominasi dari institusi kepolisian dengan 10 kasus.

Selain aparat kepolisian, sepanjang periode yang sama, kekerasan terhadap pers juga diduga paling banyak dilakukan pejabat publik, baik kepala daerah (4 kasus), pejabat publik lainnya seperti menteri, legislator, maupun kepala dinas (6), aparatur sipil negara (2), dan bahkan ajudan pejabat publik (3).

Tingginya kasus kekerasan yang justru dilakukan pemangku kepentingan, khususnya di daerah menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah.

Editor : Redaksi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini