Menurutnya, ini akan menjadi keresahan seksual dimana pelaku kejahatan asusila harus tetap mendapat hukum sosial meskipun sudah selesai menjalani hukuman yang diberikan oleh negara.
"Mana mungkin hukum sosial bisa dihapuskan secepat itu dan belum tentu korban bisa sembuh dari penyakit tersebut, karena kelainan seksual tidak bisa menjadi indikator seseorang itu sembuh atau tidak," katanya.
Kelompok Pragmatis
Selain itu, Erian juga menyoroti sejumlah gerakan yang mendukung adanya jenis hubungan terlarang, terutama kepada sesama jenis yang terkait dengan Lesbian, Gay, Biseksual dan Trans-gender (LGBT).
Menurutnya, kelompok tersebut hanya berpikir pragmatis tanpa memikirkan sisi humanisasi dari dampak kejahatan yang akan ditimbulkan.
Bahkan, bukan tidak mungkin, katanya, ada sejumlah lembaga atau pendana dari komunitas LGBT yang didukung kekuatan global sengaja menghembuskan dan memberi dukungan sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap konstruksi sosial anti-LGBT di Indonesia."Biasanya media bisa saja takluk oleh 'kue' yang mereka imingi atas nama iklan dan sebagainya yang dipandang agak liberal. Kita tunggu saja tanggal mainnya, kalau tidak percaya, buktinya sudah ada aktor yang terindikasi sebagai LGBT (kembali) eksis mendapatkan porsi berita yang banyak, silahkan saja telusuri," katanya.
Selain itu, menurutnya, gerakan pendukung LGBT merupakan gerakan sosial dan pendukung banyak kendaraan mereka berasal dari kapitalis yang memiliki anggaran kuat.
"Di Indonesia, mereka berjuang secara merambat namun dampak yang luar biasa melalui media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), industri, wisata, seni, dan hiburan termasuk olah raga serta kontes kecantikan atau modeling. Salah satunya, tawaran aplikasi di ponsel berbasis Android kita sendiri tentang komunitas 'pelangi' ini," imbuhnya.
Kakek 'Sugiono' di Pasaman Barat
Editor : Redaksi
