Namun, pemerintah terkesan lepas tangan dan menyatakan bahwa kenaikan harga barang menjelang Ramadan memang sudah menjadi siklus tahunan. Kondisi ini disebabkan meningkatnya konsumsi yang berdampak naiknya permintaan barang. Karena itu masyarakat diminta lebih bijaksana dalam berbelanja.
Menurut Farid sangat tidak bijak jika pemerintah buang badan dan menyalahkan mekanisme pasar bahwa tingginya permintaan menyebabkan naiknya harga barang. Kemudian masyarakat diminta bijak dalam berbelanja.
"Nah, peran pemerintah di mana? Terus jika sudah diprediksikan harga barang akan naik, lalu kenapa tidak diantisipasi dengan pengawasan rutin dan operasi pasar agar stok barang dan harganya normal?" tanya Farid.
"Seharusnya pemerintah pusat hingga pemerintah kota bisa mengantisipasi sejak awal agar kenaikan tersebut tidak berlangsung lama hingga berbulan-bulan," sambungnya.
Farid juga menyampaikan bahwa beban masyarakat bertambah, karena jelang Ramadan pemerintah juga menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax. Kenaikan harga BBM non subsidi jenis bensin Pertamax (RON 92), berlaku efektif per 1 April 2022 dengan kisaran harga Rp12.500 sampai Rp13.500 per liter dari sebelumnya Rp9.000 sampai Rp9.400 per liter. Dan solar subsidi pun sudah mulai langka sehingga terjadian antrean panjang pada banyak SPBU.
Beban tersebut semakin meningkat menyusul dinaikkannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022."Kenaikan PPN ini akan memicu dan memberikan dampak yang luas pada hampir semua jenis barang yang selama ini digunakan oleh masyarakat.
Penyesuaian tarif pajak ini akan sangat membebani masyarakat karena pendapatan warga tidak bertambah, apalagi bersamaan dengan naiknya harga BBM non-subsidi dan harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng. Malah saat ini untuk mendapatkan BBM jenis solar, warga harus antre di SPBU hingga berjam-jam," pungkas politisi PKS tersebut.(*)
Editor : Redaksi