Melihat kondisi ini pun, Jepang mencatat progres terhadap warga yang melakukan vaksinasi sejak enam bulan terakhir sejak pembatasan jarak darurat. Walau demikian, gelombang infeksi dan rawat inap kian tinggi karena penularan varian Delta.
Salah seorang ahli dari Universitas Kyoto, Hiroshi Nishiura meyakini lonjakan kasus di musim panas dan diikuti penurunan kasus setelahnya terutama disebabkan tren aktivitas manusia. Melihat dari infektivitas yang diukur dengan angka reproduksi efektif, berkorelasi dengan liburan.
"Selama liburan, tentu dapat dipastikan akan bertemu dengan orang-orang yang sering ditemui dan tentunya ini akan memicu kerumunan, paling tidak tatap muka dan bersentuhan langsung saat makan bersama," ungkap penasihat pemerintah Nishiura kepada Reuters.
Sementara katanya, catatan kasus terkini di Korea Selatan dan Singapura kemungkinan berhubungan satu sama lain selama liburan pertengahan tahun. Ini akan menjadi 'Mimpi Buruk' bagi negara-negara di Asia dan Barat terutama saat akhir tahun.
Walau penularan penyakit Covid-19 dikaitkan dengan perjalanan, tetapi menurutnya akan lebih pada pertemuan musiman atau reuni.
“Selama virusnya masih ada, kita akan terus melihat lonjakan hingga 85 persen dari populasi yang kebal terhadap tekanan dominan,” kata Jason Tetro, ahli penyakit menular dari Kanada dan penulis “The Germ Code”.
Katanya, perbedaan kelompok usia menjadi pemicu virus untuk bertahan, tergantung pada tingkat vaksinasi dan infeksi sebelumnya.“Ini satu-satunya cara untuk keluar dari lingkaran setan,” tambahnya.
Teori yang berkembang saat ini, yaitu COVID-19 berikut variannya cenderung untuk berpindah dalam siklus dua bulanan. Namun, menurut Tetro, siklus tersebut lebih kepada faktor manusia ketimbang faktor alam.
Namun teori itu mendapat keraguan dari Kenji Shibuya, mantan direktur Institut Kesehatan Penduduk di King’s College London.
Editor : Redaksi